Jumat, 09 Mei 2008

Ujian Nasional: Untuk Apa?

Oleh Abdul Malik *)

UPAYA pembenaran ujian nasional sebagaimana diuraikan dalam liputan Kompas (31/1/ 2005), "Ujian Nasional Jalan Terus" menunjukkan kegagalan pemerintah memisahkan dimensi politis dan dimensi teknis kebijakan pendidikan.

Kajian instrumen kebijakan yang sangat bisa dilakukan secara analitis dalam konteks teoretis dan empiris telah direduksi menjadi pencarian legitimasi melalui acara dukung-mendukung. Ini merupakan masalah serius karena politisasi implisit pada wilayah yang sangat teknis dalam konteks wacana populer di bidang pendidikan kita berpotensi menyesatkan.

Dalam tulisan ini penulis mencoba menyoroti evaluasi pendidikan, termasuk ujian nasional (UN) dalam konteks perundangan yang berlaku dan dalam konteks substantif evaluasi pendidikan dalam berbagai makna serta implikasi dan kelayakannya. Dengan menempatkannya dalam perspektif yang lebih komprehensif dan substantif mudah-mudahan kita bisa melihat permasalahannya secara lebih jernih.

Konteks perundangan

Setidaknya tiga produk hukum yang patut dilihat: UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Perlu dicatat, PP No 25/2000 diturunkan dari UU No 22/1999 yang tidak lagi berlaku setelah keluarnya UU No 32/2004. Tetapi mengingat substansi desentralisasi pendidikan tidak berubah dari UU No 22/1999 ke UU No 32/2004, ketentuan dalam PP tersebut perlu dicermati paling tidak untuk
pemikiran menjelang revisinya menyesuaikan dengan UU No 32/2004.

Persoalan pertama yang mengemuka dalam tinjauan hukum UN adalah kenyataan bahwa UU No 20/2003 tidak mengaturnya secara jelas dan rinci. Evaluasi pendidikan dalam Pasal 57 Ayat (1) dinyatakan sebagai kegiatan yang "ditujukan untuk pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan" dikacaukan oleh Ayat (2) pasal yang sama. Tidak berlebihan, kerancuan konseptual Pasal 57 Ayat (2) ini merupakan akar perdebatan tentang UN.

Ayat tersebut mencampuradukkan "evaluasi terhadap peserta didik" yang lebih bermakna examination dengan "evaluasi terhadap lembaga dan program pendidikan" yang lebih bermakna assessment. Evaluasi dalam pengertian examination bermaksud mengukur pemahaman dan prestasi peserta didik dan bernuansa seleksi serta menentukan lulus atau tidak lulus, sedangkan evaluasi dalam pengertian assessment bermaksud mengukur kinerja sistem atau bagian dari sistem pendidikan dan berimplikasi perbaikan penyelenggaraan dan sistem/komponennya.

Melihat kedua makna evaluasi, pertanyaannya kemudian siapa yang berwenang melakukan evaluasi untuk masing-masing makna tersebut? PP No 25/2000 Pasal 2 Ayat 3 huruf 11.a mengatakan bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam "penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya". Ayat ini sekilas memberikan dasar bagi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan UN. Tetapi, mengingat ayat ini tidak disertai dengan penjelasan memadai untuk dapat secara tegas ditafsirkan apakah penilaian hasil
belajar yang dimaksud berimplikasi kelulusan (sertifikasi) ataukah berimplikasi perbaikan sistem, maka ayat ini perlu dibaca dengan hati- hati dan diletakkan dalam konteks perundangan lainnya, khususnya UU No 20/2003.

Dalam UU No 20/2003 terdapat dua ketentuan relevan: Pasal 58 Ayat (1) yang mengatakan bahwa "evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik", dan Pasal 61 Ayat (2) yang mengatakan bahwa "ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi". Kedua ayat tersebut mengandung makna bahwa evaluasi yang berimplikasi kelulusan (sertifikasi) adalah kewenangan pendidik dalam satuan
pendidikan yang terakreditasi.

Jika demikian, bagaimana kita menafsirkan peran pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam PP No 25/2000 tersebut di atas? UU No 20/2003 Pasal 59 Ayat (1) mengatakan bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan" yang dengan mudah dapat dipahami sebagai evaluasi dalam pengertian assessment. Nuansa ini terasa lebih kuat manakala kita membacanya bersamaan dengan Pasal 50 Ayat (2), Pasal 35 Ayat (1) dan (2), serta ketentuan umum mengenai standar nasional
pendidikan dalam UU yang sama.

Dua makna evaluasi pendidikan

Kita perlu telaah lebih lanjut kedua makna evaluasi serta implikasinya bagi pengelolaan pendidikan nasional. Pencampuradukan kedua makna evaluasi dan upaya dukung-mendukung dalam rangka legitimasi UN sebagai instrumen kebijakan sangat berbahaya pada tataran pemahaman subtil terhadap perbedaan antara motivasi pemerintah menyelenggarakan pendidikan dan motivasi individu
memperoleh pendidikan. Pada tataran individu, unsur seleksi dalam proses pendidikan cukup menonjol; persoalan lulus tidak lulus, nilai akademik, dan peringkat menempati porsi yang penting.

Dalam konteks ini mudah dipahami dukungan pada UN dari para orangtua dan murid yang semuanya beraspirasi sukses dalam proses seleksi sepanjang karier pendidikannya. Instrumen seleksi seperti UN yang akan membedakan kinerja di antara mereka akan memudahkan menyiasati dan memfokuskan upaya mereka. Hal ini berpotensi membelokkan upaya individu siswa dan bahkan guru-guru dan sekolah dari belajar secara komprehensif menjadi upaya sempit menyiapkan diri untuk seleksi. Di sinilah letak bahayanya mendasarkan pilihan instrumen yang begitu teknis pada aspirasi populer.

Pada tataran pemerintah sebagai wali kepentingan publik, unsur seleksi tidak terlalu relevan. Pemerintah lebih peduli pada kemajuan kolektif, bukan kemajuan individu. Kebijakan pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang dilandasi cita-cita kemerdekaan lebih menekankan upaya pemberdayaan anak didik secara keseluruhan (kolektif). Dalam bingkai ini evaluasi yang bernuansa membedakan
(discriminating) menjadi kurang relevan, dan evaluasi dalam konteks assessment menjadi penting. Inilah mandat penting pemerintah pusat cq Depdiknas yang tidak pernah didesentralisasikan.

Berbeda dengan examination yang menentukan siapa yang lulus dan yang tidak lulus serta siapa memahami lebih baik siapa tidak, assessment akan lebih berfokus kepada mereka yang lemah, unit pendidikan yang kinerjanya kurang baik dan masih berada di bawah standar yang dicita- citakan. Dengan begitu, assessment akan secara sistematis berimplikasi pada langkah-langkah penyempurnaan sistem, kurikulum, sumber daya, dan pendekatan pengajaran, sesuatu yang tidak mungkin dihasilkan melalui UN.

Standardisasi lulusan?

Berangkat dari uraian di atas, pertanyaannya kemudian: bagaimana dengan permasalahan standardisasi kelulusan? Bukankah kita perlu keyakinan bahwa lulusan sebuah jenjang pendidikan tertentu dapat diperbandingkan secara nasional. Itu permasalahan yang sama sekali berbeda dan tidak bisa diatasi secara instan melalui mekanisme UN pada saat ini. Mengapa? Kita perlu introspeksi dan menengok secara adil penyelenggaraan pendidikan secara nasional selama ini. Keberhasilan kita meluaskan akses pendidikan selama lebih dari tiga dekade sungguh monumental secara komparatif internasional. Tetapi
harus kita akui pula bahwa pada aspek kualitas sungguh tidak terkendali.

Gambaran sekolah kita memiliki spektrum kelayakan sebagai lembaga pendidikan yang sangat lebar. Menguji mereka yang belajar dalam kondisi sangat beragam, sebagian dengan sumber daya publik yang terlalu kecil untuk berfungsi sebagai alat pemerataan (equalizing), hanya berarti menghakimi dan kemudian menghukum siswa atas "kesalahan" yang tak mereka perbuat. Bagaimana dengan penentuan kriteria kelulusan secara lokal dari ujian yang bersifat nasional?
Ini hanya sebuah upaya teknis menutupi kesalahan konseptual.

Apakah tidak ada harapan untuk standardisasi kualitas lulusan secara nasional? Ini tantangan yang harus dijawab secara proporsional dalam kerangka waktu yang masuk akal, diawali assessment yang ditindaklanjuti dengan langkah konkret memperbaiki titik-titik lemah sistem dan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Assessment merupakan pekerjaan besar dan penting, dan tidak ada yang lebih otoritatif melakukannya dibandingkan Depdiknas. Setelah berbagai perbaikan yang merupakan tindaklanjut assessment, pada saat yang tepat dan tentu tidak mungkin segera, kita mulai menerapkan standardisasi lulusan dan memperbaikinya dari waktu ke waktu.
------------------------------------
*) Abdul Malik Direktur Economic and Human Resource Development Institute (EHRDI), dan Anggota Dewan Pendiri Institute for Democracy and Civic Education (Indication)
-----------------------------------
Dicopy dari Millist CFBE (posting Pak Bambang)

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sponsor by