Minggu, 11 Mei 2008

Dari Keamanan Militer Menuju Keamanan Manusia : Menuju Paradigma Alternatif Keamanan Nasional Indonesia

Oleh Heru Susetyo
Pascaperang dingin (cold war), konsep tentang keamanan (security) telah banyak mengalami perkembangan. Mely Caballero-Anthony (2004) menyebutkan minimal ada tiga pandangan tentang keamanan. Pandangan pertama adalah yang beranggapan bahwa ruang lingkup keamanan adalah lebih luas daripada semata-mata keamanan militer (military security). Pandangan kedua adalah menentang perluasan ruang lingkup daripada keamanan dan lebih cenderung konsisten dengan status quo. Pandangan ketiga tidak saja memperluas cakupan bahwa keamanan adalah lebih luas dari semata-mata ancaman militer dan ancaman negara, namun juga berusaha untuk memperlancar proses pencapaian emansipasi manusia (human emancipation).


Emansipasi manusia bermakna :"pembebasan manusia, baik sebagai individu maupun bagian dari kelompok) dari keterbatasan fisik dan kemanusiaannya yang menghentikan upaya mereka untuk memperoleh kenikmatan dari hal-hal yang sepatutnya mereka dapatkan," (Booth dalam Anthony, 2004).

Pandangan yang beranggapan bahwa ruang lingkup keamanan adalah lebih luas dari semata-mata keamanan militer sering disebut sebagai paradigma keamanan non tradisional. Pihak lain menyebutnya paradigma keamanan alternatif (alternatif security).

Kondisi keamanan nasional Indonesia pada masa perang kemerdekaan dan setelah perang dingin (cold war) tentunya tidak stagnan. Karena kondisi sosial politik terus berubah. Apalagi memasuki milenium baru ini Indonesia telah pula mengalami transisi demokrasi yang dipacu antara lain oleh gerakan reformasi 1998. Berakhirnya era kekuasaan mantan Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya menandai satu awalan transisi demokrasi (transitional justice). Karena kekuasaan otoriter ala Soeharto memiliki ciri kuatnya pengaruh dan cengkraman militer pada panggung politik dan kekuasaan, sebaliknya reformasi membuka ruang untuk demokratisasi dan limitasi peran militer.

Robin Luckham (dalam Selochan, 2005) menyebutkan bahwa Orde Baru yang dilembagakan oleh Soeharto adalah dibangun di atas kontrol militer terhadap negara, pembangunan ala kapitalis yang bertumpu pada bantuan luar negeri dan bisnis minyak, dan pembakuan posisi anti komunis dengan ikatan kerjasama militer dan keamanan dengan Amerika Serikat. Pada saat tersebut posisi Indonesia telah bergeser dari negara non blok (non-alignment) menuju kemitraan efektif dengan negara barat dalam era perang dingin (cold war).

Luckham (2005: 23-24) mensinyalir, pada era tersebut, tatanan politik di Indonesia dipelihara melalui kerangka negara yang termiliterisasi secara kuat. Rezim yang berkuasa mengkondisikan agar kekuatan sosial yang lain berada dalam kondisi termarjinalkan dan terbatas ruang geraknya. Doktrin Dwi Fungsi ABRI memperkukuh posisi tersebut dengan memposisikan ABRI sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan Sospol, yang memiliki peran dalam pembangunan nasional. Sehingga, pembangunan nasional dalam pandangan doktrin militer ketika itu tak lepas dari kerangka keamanan yang berhubungan secara khusus dengan doktrin anti komunis dan pembasmian pemberontakan (counter insurgency).

Kini, setelah berakhirnya perang dingin (cold war), setelah enam puluh dua tahun Indonesia merdeka, yang diwarnai pula dengan pergantian kepemimpinan nasional berulangkali dan perubahan sosial politik yang drastis melalui transisi demokrasi pascareformasi 1998, apakah paradigma keamanan Indonesia masih terpengaruh oleh pendekatan keamanan militer (military security) ataukah sudah saatnya bergeser menuju paradigma keamanan alternatif?

Keamanan Non Tradisional dan Alternatif
Keamanan (security) adalah bentuk khusus dari politik. Semua masalah keamanan adalah masalah politik. Namun tidak semua konflik politik adalah masalah keamanan. Keamanan menjadi isu utama sengketa politik ketika aktor politik tertentu mengancam atau menggunakan kekuatan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dari pihak lain (Kolodziej, 2005 : 22).

Cakupan dari masalah politik adalah seluas dan bersamaan dengan sejarah interaksi manusia dalam dimensi ruang dan waktu ketika kekuatan atau daya paksa digunakan. Seperti halnya politik, keamanan adalah fenomena yang diciptakan oleh kehendak ataupun tindakan manusia (Kolodziej, 2005 : 22).

Dalam konsepsi klasik, keamanan lebih diartikan sebagai usaha untuk menjaga keutuhan teritorial negara dari ancaman yang muncul dari luar. Konflik antar negara khususnya dalam upaya memperluas imperium daerah jajahan membawa definisi security hanya ditujukan kepada bagaimana negara memperkuat diri dalam upaya menghadapi ancaman militer. Dalam pendekatan tradisional, negara (state) menjadi subyek dan obyek dari upaya mengejar kepentingan keamanan.

Pandangan kelompok ini menilai bahwa semua fenomena politik dan hubungan internasional adalah fenomena tentang negara. Dalam alam pemikiran tradisional ini negara menjadi inti dalam upaya menjaga keamanan negara (Al Araf & Aliabbas, 2007).

Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi, penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi, maupun ancaman ekologis. Permasalahan dan ancaman tersebut kemudian digolongkan menjadi bagian dari isu-isu keamanan non tradisional. Dalam pendekatan non tradisional, konsepsi keamanan lebih ditekankan kepada kepentingan keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Konsepsi ini menilai bahwa keamanan tidak bisa hanya diletakkan dalam perspektif kedaulatan nasional dan kekuatan militer. Konsepsi keamanan juga ditujukan kepada upaya menjamin keamanan warga negara/ keamanan manusianya (Al Araf & Aliabbas, 2007).

Pemikiran yang kurang lebih sama dikembangkan oleh pendekatan critical securiy studies (studi keamanan kritis). Pendekatan ini menolak asumsi bahwa keamanan dicapai melalui akumulasi kekuatan. Sebaliknya, ia beranggapan bahwa pondasi dari keamananan adalah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi (Collins, 2005).

Meminjam pendapat Booth, Collins berargumen bahwa keamanan tercipta ketika terjadi pembebasan manusia dari keterbatasan-keterbatasannya . Keterbatasan tersebut dapat bersifat struktural yang dipengaruhi oleh sistem internasional, maupun keterbatasan yang diciptakan oleh elit-elit politik.

Pembatasan struktural termasuk misalnya dalam sistem perdagangan internasional yang cenderung memihak negara maju. Keterbatasan yang diciptakan elit politik misalnya adalah diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Oleh karena itu, pencapaian kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial, melalui penyediaan pendidikan, pengurangan kemiskinan, kebebasan dari tekanan politik, akan membuat individu maupun kelompok mendapatkan keamanannya (Collins, 2005).

Sama halnya dengan negara. Negara yang memberikan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial bagi warganya dapat menciptakan masyarakat keamanan tersendiri, sekaligus mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana pemecahan masalah keamanan. Maka, bagi Critical Security Studies, keamanan hadir ketika masyarakat terbebaskan dari kemiskinan (bebas berkeinginan/ freedom from want) dan bebas dari ketakutan (freedom from fear).. Bukan dengan cara memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang cenderung membatasi kebebasan masyarakat (Collins, 2005).

Satu pendekatan lain yang hampir serupa dengan keamanan non tradisional dan merupakan antitesis dari keamanan tradisional adalah keamanan alternatif (alternative security). Pendekatan ini menjadi rumah bagi tiga pandangan keamanan non tradisional yaitu konstruktivisme (constructivism), sekuritisasi (securitization) dan keamanan manusia (human security). Constructivism, securitization dan human security telah cukup lama menjadi perhatian dalam debat akademik tentang keamanan internasional. Human security sedikit lebih maju dalam hal ini karena telah diadopsi dan menjadi identitas resmi dalam kebijakan luar negeri di tiga negara maju, yaitu Kanada, Norwegia, dan Jepang (Tow dalam Tan & Boutin, 2001 : 258).

Pendukung pendekatan constructivism menolak gagasan bahwa kapabilitas materiil seperti kekuatan (power) dan sumber daya (resources) adalah komponen utama dalam menentukan perang dan damai. Sebaliknya, mereka beranggapan bahwa kekuatan dari perubahan-perubahan sosial lebih mempengaruhi politik keamanan internasional kontemporer. Institusi-institusi keamanan berkembang dan merupakan ekspresi dari praktek-praktek dan pengetahuan sosial budaya, daripada sekedar respon terhadap anarkisme regional dan internasional (Tow dalam Tan & Boutin, 2001 : 259).

Berbeda dengan constructivism, pendekatan securitization menaruh perhatian pada konsep masyarakat keamanan (societal security) daripada keamanan yang berasal dari kedaulatan negara (state sovereignty). Gagasan utama dari pendekatan ini adalah menolak dominasi pihak tertentu (apakah negara atau masyarakat) dalam menafsirkan dan menetapkan keamanan. Keamanan dipandang sebagai dikonstruksikan secara sosial (socially constructed) oleh elit tertentu. Keamanan menjadi suatu praktek `self referential`. Suatu isu menjadi isu keamanan tidak semata-mata karena eksistensi ancaman keamanan yang nyata-nyata terjadi melainkan karena isu tersebut dipersepsikan sebagai ancaman (Tow in Tan & Boutin, 2001 : 263).

Human Security dan Comprehensive Security
Salah satu paradigma keamanan alternatif yang juga bersifat non tradisional adalah human security (keamanan manusia). Paradigma ini seringkali diposisikan berpasangan dan senafas dengan comprehensive security, sebagai pendekatan yang memandang keamanan tidak semata-mata dari perspektif kemiliteran namun juga non militer.

Konsep human security muncul antara lain melalui laporan badan PBB UNDP (United Nations Development Program) pada tahun 1994. Pemikiran utama dari konsep ini adalah bahwa berakhirnya perang dingin seharusnya mengubah juga paradigma keamanan dari keamanan nuklir menuju keamanan manusia.
Badan PBB ini berpendapat bahwa konflik yang terjadi saat ini lebih banyak di dalam negara (within nations) daripada antar negara (international conflicts). Bagi banyak orang, perasaan tidak aman lahir lebih banyak dari kehidupan sehari-hari daripada akibat peristiwa dunia tertentu. Misalnya, apakah mereka memiliki cukup makan? tak akan kehilangan pekerjaan? Aman berjalan di jalan umum? Akankah mereka menjadi korban karena status gender-nya? Akankah asal usul agama atau etnis mereka akan menyebabkan mereka menjadi korban penyiksaan? Pada analis finalnya, human security adalah identik dengan anak-anak yang tidak mati, penyakit yang tidak menyebar, pekerjaan yang tidak dihentikan, konflik etnis yang tidak berujung pada kekerasan. Human security tidak berurusan dengan senjata. Lebih berurusan pada kehidupan manusia dan martabatnya (UNDP, 1994).

Laporan UNDP 1994 menekankan pemaknaan human security sebagai sesuatu yang universal. Relevan dengan semua manusia dimanapun. Karena ancaman keamanan dalam human security bersifat umum. Dimanapun terjadi tak memandang tapal batas negara. Human security memusatkan perhatian pada manusia (people-centered) dan bukan negara (state-centered), dengan memaknai keamanan pada tujuh wilayah yaitu : keamanan ekonomi (economic security), makanan (food security), kesehatan (health security), lingkungan (environmental security), pribadi/ individu (personal security), komunitas (community security) dan politik (political security). Konsep ini juga mengidentifikasi enam ancaman terhadap human security yaitu : pertumbuhan penduduk yang tak terkendali, disparitas peluang-peluang ekonomi, tekanan migrasi penduduk, degradasi lingkungan, perdagangan narkotika, dan terorisme internasional (Smith, 2002).

Konsep Comprehensive Security, di sisi lain, adalah konsep keamanan yang paling banyak digunakan di Asia Pasifik. Konsepsi ini pertama kali diperkenalkan oleh Jepang pada tahun 1970-an. Premis utama dari dari comprehensive security adalah bahwa keamanan harus dimaknai dalam pengertian yang holistik (holistic way), mencakup baik ancaman militer maupun ancaman non militer. Tafsir Jepang terhadap comprehensive security adalah bahwa kekuatan militer saja tak cukup untuk menjamin keamanan nasional. Maka , Jepang menekankan pula pada perluasan kebijakan non militer seperti pendayagunaan sumber daya politik, ekonomi, dan diplomatik. Salah satu wujud comprehensive security ini adalah ketika pada tahun 1986 pemerintah PM Yasuhiro Nakasone membentuk Dewan Keamanan Nasional . Dewan ini ditugaskan untuk menjamin kesiapsiagaan militer namun pada saat bersamaan juga berurusan dengan penanggulangan situasi darurat non militer seperti bencana alam (Capie & Evans, 2002).

Kebijakan yang hampir sama terdapat di Thailand. Pada section (4) dari Thailand Civil Defence Act tahun 1979, pengertian civil defence (pertahanan sipil) adalah operasi yang dilaksanakan oleh otoritas pertahanan sipil dalam rangka melindungi ataupun memberikan bantuan dalam terjadinya bencana publik, ancaman udara ataupun sabotase, baik sebelum, selama, dan sesudah terjadinya bencana, termasuk evakuasi manusia dan fasilitas pemerintahan. Bencana publik adalah bencana yang datang dari api, badai, maupun banjir baik yang terjadi karena alam maupun karena peran manusia yang mengorbankan nyawa manusia, dan menghancurkan properti milik rakyat maupun negara.

Konsepsi Keamanan Indonesia
Dalam melacak konsepsi keamanan nasional Indonesia, paling tidak dapat dilakukan dengan mengetahui doktrin dan perundang-undangan yang menjadi landasan. Doktrin utama dari keamanan nasional adalah ketahanan nasional (national resilience).

Ketahanan Nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.

Doktrin ketahanan nasional mencakup organisasi dan implementasi dari suatu keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan bangsa, yang secara holistik meliputi semua aspek yang berlandaskan filosofi bangsa, ideologi negara, konstitusi dan identitas nasional melalui metode ASTAGATRA.
Astagatra terdiri dari delapan aspek yang terbagi atas Pancagatra (lima aspek sosial) dan Trigatra (tiga aspek alamiah). Pancagatra adalah integrasi dari faktor-faktor dinamis : (1) ideologi (2) politik (3) ekonomi (4) sosial budaya dan (5) pertahanan dan keamanan. Trigatra berfokus pada relasi antara tiga aspek alamiah Indonesia yaitu : (1) keistimewaan geografis Indonesia; (2) sumber daya alam; (3) potensi dan kemampuan rakyat

Doktrin ketahanan nasional lebih memandang ke dalam (inward-looking), atau tertuju pada bangsa Indonesia sendiri. Tujuan utamanya adalah pencapaian identitas dan karakter nasional melalui ketahanan pribadi. Hal ini tidak berarti bahwa bangsa Indonesia menerapkan nasionalisme yang sempit atau mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Karakteristik memandang ke dalam (inward-looking) berjalan searah dengan pemeliharaan hubungan internasional (Anwar, 2000 : 85).

Mantan presiden Soeharto menyebutkan bahwa ketahanan nasional adalah satu-satunya jawaban terhadap tantangan konflik di dunia saat ini, karena ketahanan nasional meliputi : (1) ketahanan ideologis; (2) ketahanan ekonomi; (3) ketahanan sosial; dan (4) ketahanan militer.Dari sisi perundang-undangan, konsepsi keamanan Indonesia dapat dilihat sebagai berikut :

Undang-Undang No. 2/ 2002 tentang Kepolisian Negara RI
Pasal 1 ayat (1)

Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya Kamtibmas, tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakarat.

Menurut Undang-Undang Kepolisian Negara, keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Pasal 1 ayat (1)
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Menurut Undang-Undang Pertahanan Negara, sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI
Pasal 1 ayat (5)
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara disusun dengan mempertahankan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Menurut Undang-Undang TNI, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Problem Keamanan Kontemporer di Indonesia
Masalah keamanan dan ketidakamanan tidak identik dengan ancaman fisik ataupun kemiliteran belaka. Paul Hoffman (2004) menyebutkan bahwa bagi ratusan juta penduduk dunia saat ini, salah satu sebab timbulnya ketidakamanan (insecurity) hidup mereka adalah bukan semata-mata terorisme, namun kemiskinan berlebihan (extreme poverty). Saat ini, lebih dari satu milyar penduduk bumi (dari total enam milyar) hidup hanya dengan pendapatan setara satu dollar per hari.

Penelitian dari Peace Research Institute (PRIO) Oslo dan Uppsala Conflict Data Program (2002) menyebutkan bahwa perang sipil (civil wars) ataupun konflik internal (internal conflict) di suatu negara menyebabkan kematian lebih banyak daripada konflik bersenjata antara negara (armed forces) dengan pemberontak ataupun gerakan separatis. Berbanding 1000 kematian per tahun untuk perang sipil dengan 25 kematian per tahun untuk konflik vertikal antara negara dengan pemberontak ataupun gerakan separatis. Di antara sebab tidak langsung terjadinya perang sipil adalah kemiskinan, kelaparan, ketimpangan distribusi pendapatan, maupun pemindahan paksa (forced displacement)

Toms dan Ron (2007) menyebutkan bahwa kemiskinan nasional berpengaruh sebagai sebab terjadinya konflik. Data statistik menyebutkan konflik berpotensi lahir di negara dengan Gross Domestic Bruto (GDP) per kapita rendah. Logika dari asumsi ini adalah bahwa negara miskin kurang memiliki angkatan bersenjata yang efisien dan taat hukum. Angkatan bersenjata-nya malah seringkali memerangi gerakan oposisi. Negara miskin juga cenderung lemah dalam pelayanan sosial namun sebaliknya memiliki tingkat korupsi yang tinggi.

Menyebabkan lahirnya diskriminasi dan ketidaksetaraan (inequality) antar rakyat.
Kemiskinan dan kelaparan memang bukan penyebab utama terjadinya konflik. Sedikit sekali penelitian ilmiah yang membuktikan korelasi antara keduanya. Namun, bahwa kemiskinan dan kelaparan adalah sebab tidak langsung terjadinya konflik, tak diragukan lagi. Penelitian PRIO Oslo dan Uppsala (2002) menghadirkan relasi yang jelas antara kemakmuran nasional dengan perdamaian. Hanya satu dari tiga puluh negara terkaya di dunia yang mengalami konflik. Sebaliknya, pada saat yang sama tujuh belas dari tiga puluh satu negara termiskin mengalami konflik.

Asumsi ini dapat membantu menjelaskan sebab terjadinya konflik di Indonesia. Sebagian besar konflik yang terjadi sepuluh tahun terakhir (1998 E2008) di Indonesia adalah bukan konflik bersenjata antara negara (TNI/ POLRI) dengan gerakan separatis, namun lebih bersifat konflik internal ataupun perang sipil antar pihak dalam masyarakat. Seperti yang terjadi di Poso-Sulteng, Maluku, Sambas-Kalbar, Sampit-Kalteng, dan Sanggau Ledo-Kalbar dalam kurun waktu 1998 E2003. Di antara penyebab konflik sipil di tempat-tempat tersebut adalah tidak semata-mata perseteruan etnis ataupun agama belaka. Namun bercampur dengan kepentingan politik, kemiskinan dan rendahnya pendidikan, serta ketidakpuasan dalam hal distribusi pendapatan. Dan kemiskinan dan kelaparan adalah problem yang amat serius di Indonesia. Di awal tahun 2008 ini ada anak SD yang bunuh diri karena kelaparan di Magetan. Ibu hamil tua dan anak ketiganya tewas karena kurang gizi di Makassar. Lima warga NTT meninggal karena busung lapar. Tiga peristiwa di bulan Februari-Maret 2008 ini mungkin bukan tergolong peristiwa luar biasa di Indonesia. Banyak orang kelaparan di negeri ini, kendati tidak banyak yang kemudian mati. Ataupun tak terberitakan ketika mati.

Padahal kelaparan dan kemiskinan adalah peristiwa yang sangat serius. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Millenium Development Goals (MDGs) nya yang diluncurkan pada tahun 2000 menetapkan sasaran pertama dari delapan sasaran MDGs adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan yang berlebihan (eradicate extreme poverty and hunger).

Prestasi Human Development Index (HDI) Indonesia di tahun 2007 juga tak terlalu menggembirakan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan UNDP (2008) dengan indikator antara lain di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi tersebut, Indonesia menempati ranking ke 107. dengan indeks 0.728. Masih di bawah Malaysia (yang tergolong ber DI tinggi), Thailand, Philippina, dan Vietnam. Bahkan Palestina (Occupied Palestinian Territory) masih sedikit lebih baik dari Indonesia. Di Asia Tenggara, Indonesia hanya lebih unggul dari Laos, Myanmar, Cambodia, dan Timor Leste.

Menuju Paradigma Keamanan Alternatif
Sejatinya, doktrin ketahanan nasional di Indonesia dengan metode ASTAGATRA-nya sudah mendekati paradigma keamanan alternatif dengan bentuk keamanan komprehensif (comprehensive security). Daripada sekedar memandang ancaman dari sisi kemiliteran belaka (military threat). Dewi Fortuna Anwar (ISEAS, 2000) menyebutkan : "this concept is very similar to the doctrine of comprehensive security in its multidimensional approach to security. Security is not merely seen in military terms, but encompass a much wider spectrum, including economic, political, and social aspects"

Kendati demikian, dalam pengejawantahan di lapangan, paradigma komprehensif dalam ketahanan nasional ini nyatanya tidak terlalu terlihat. Tetap saja dominasi pendekatan kemiliteran lebih terasa. Mutthiah Alagappa (1988) menyebutkan bahwa : "National resilience doctrine in Indonesia represented, among other things, its military dominated ...regime`s quest for legitimacy and survival in the face of domestic competition for political power," (Alagappa, 1988).

Dalam nada yang hampir sama, Mely Caballero-Anthony (2004) menyebutkan bahwa :At least three states in the region EIndonesia, Malaysia, and Singapore- have developed their own versions of comprehensive security, Indonesia`s for example, has been expressed in the idea of Ketahanan Nasional (national resilience), which also became its security doctrine starting from the Suharto era in the mid- 1960s. Ketahanan Nasional was presented as a comprehensive view of security to include political, economic, socio-cultural, and military aspects covering both the domestic and the international environments. Inward-looking in orientation, the concept placed emphasis on the survival of the regime, which at that time proved vulnerable to domestic problems stemming from such threats as communism and economic recession.

Deviasi ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa doktrin Ketahanan Nasional memang dikembangkan oleh militer Indonesia sebagai suatu doktrin keamanan holistik sebagai respon terhadap konflik politik dan keamanan dalam negeri di akhir tahun 1960-an. Tidak lama setelah berkuasanya pemerintahan Orde Baru.
Justifikasi dari pendekatan keamanan yang condong aspek kemiliteran ini terlihat juga pada pengertian keamanan pada Undang-Undang Pertahanan Negara tahun 2002 dan Undang-Undang TNI. Tahun 2004. Kedua Undang-Undang tersebut memandang keamanan nasional dari sisi kedaulatan negara dan keutuhan wilayah secara geografis dari segala ancaman dan gangguan. Perkembangan sosial politik dan pertahanan keamanan kontemporer menghendaki pengembangan paradigma keamanan nasional yang tak berpusat pada keamanan militer dan teritorial saja. Ancaman yang menganggu stabilitas dan integrasi nasional kini lebih banyak berasal dari dalam negeri dengan sebab-sebab yang tak melulu kemiliteran. Maka, perlu memperluas paradigma keamanan nasional dari keamanan komprehensif (comprehensive security) ala ketahanan nasional yang bertumpu pada keamanan militer (military security) menuju keamanan komprehensif yang bertumpu pada keamanan manusia (human security).
Keamanan manusia (human security) menjadi pilihan karena konsep ini secara komprehensif mampu menjembatani kepentingan keamanan antara kepentingan keamanan militer dengan keamanan ekonomi, pangan, energi, pribadi, politik, komunitas, dan keamanan lingkungan. Jepang, Norwegia, dan Kanada adalah di antara negara yang telah menerapkan human security dalam kebijakan keamanannya. Dan ketiga negara tersebut terbukti memiliki keamanan nasional yang relatif solid dan score Human Development Index (HDI) yang relatif tinggi (UNDP, 2008).

Referensi
Al Araf & Anton Ali Abbas, et.al. TNI-POLRI di Masa Perubahan Politik. Bandung , Program Magister Studi Pertahanan Institut Teknologi Bandung, 2008.
Acharya, Amitav. Human Security : East versus West? Working Paper. Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies, September 2001.
Acharya, Amitav & Steve Smith. The Concept of Security Before and After September 11. Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies, May 2002.
Asian Perspective, Vol. 28 No. 3, 2004.
Collins, Alan. The Security Dilemmas of Southeast Asia. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2000.
Collins, Alan. Security and Southeast Asia. Domestic, Regional, and Global Issues. New Delhi, Viva Books Private Limited, 2005.
Da Cunha, Derek. Southeast Asian Perspectives on Security. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies. 2000.
Human Rights Quarterly 29. John Hopkins University, 2007.
International Security, Vol. 26 No. 2 Fall 2001.
Tan, Andrew & J.D. Kenneth Boutin, Non-Traditional Security Issues in Southeast Asia. Singapore, Select Publishing for Institute of Defence and Strategic Studies, 2001.
Uberoy, Virinder. Threat Perception for National Security. New Delhi, UBSPD, 2004.

(Sumber : http://www.beritaiptek.com/)
--------------------------------------------
Heru Susetyo
Kini disamping bekerja sebagai sebagai Staf Pengajar tetap di FHUI, juga mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, menjadi advokat di LSM PAHAM dan firma hukum SPARTAN, juga menjadi aktivitas kemanusiaan di beberapa NGO bidang kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sampai kini tertarik untuk mendalami issue tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Kebijakan Sosial (social policy), Pembangunan Sosial (social development), Hukum Internasional, dan Civic Education.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sponsor by